Jakarta – Annasya (6) terkulai lemas di atas dipan rumah orang tuanya. Sudah setahun kondisinya tidak membaik. Ayah, ibu, serta neneknya merawat Annasya sejak pertama kali dirinya terjangkit demam berdarah yang tidak tertangani dengan baik. Secara medis, kondisi Annasya saat ini sudah tidak mungkin sembuh. Oleh karena itu, fokus untuk Annasya adalah menjaga kualitas hidupnya. Salah satu cara yang baik ditempuh adalah dengan perawatan paliatif.
“Sebelum saya ke sana, saya boleh tanya perkembangan Annasya, Pak? Apakah hari ini lebih baik?” tanya Rina pada pemilik suara di panggilan video. Hal ini adalah kegiatan yang sering ia lakukan guna memantau kondisi pasien yang tengah dirawatnya. Tujuannya, mempersiapkan kebutuhan obat serta peralatan sebelum datang langsung ke rumah si sakit.
Rina Wahyuni, adalah seorang perawat paliatif yang telah bertugas sejak 13 tahun lalu. Profesi ini membuat dirinya tidak hanya menjaga pasien secara fisik, tetapi juga mental. Tidak hanya itu, Rina pun seringkali harus menjaga stabilitas psikologis keluarga pasien. Sebab, ia percaya bahwa keluarga adalah sumber semangat bagi si pasien. Maka, dinamika keluarga pun perlu dijaga.
Dalam sehari, Rina bisa mengunjungi satu sampai dua pasien. Tidak hanya mengecek kondisi pasien, ia pun mengedukasi keluarga mengenai perawatan medis yang dibutuhkan. Dalam setiap kunjungan, Rina juga mendengarkan keluh kesah dan kekhawatiran keluarga seraya memberi mereka penguatan serta saran secara berkala.
Rina menuturkan, tekanan keluarga pasien tidak ringan saat mengetahui salah satu anggotanya sakit. Kebingungan, kekhawatiran, dan keputusasaan juga bisa hinggap di keluarga dan mengakibatkan perawatan pada pasien yang tidak optimal. Pendampingan secara menyeluruh inilah yang membedakan perawatan paliatif dengan perawatan medis pada umumnya.
“Sebelum ada asuhan paliatif, yang aku rasain itu adalah dulu waktu kita ngelihat mayoritas tenaga kesehatan itu kalau ada pasien yang datang ke mereka, terus yang dikeluhkan biasanya banyak keluhan medis, ya. Lalu kita kasih obat, kemudian kita edukasi bagaimana minum obatnya yang benar, dosisnya yang benar. Sedikit sekali waktu kita untuk menanyakan, ‘How do you feel? Bagaimana perasaan Bapak Ibu kalau anaknya lagi sakit?'” kenang Rina dalam program Sosok, Minggu (4/12).
Sebelum masuk ke bidang asuhan paliatif, Rina sempat bekerja sebagai perawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Fenomena yang sering ia lihat saat bekerja di NICU adalah ketika pasien sudah memungkinkan untuk pulang ke rumah, namun keluarga merasa tidak nyaman karena bingung bagaimana cara merawat pasien.
Hal itulah yang membuat Rina tertarik untuk masuk ke bidang asuhan paliatif bersama Rachel House Indonesia. Asuhan paliatif biasa diberikan kepada mereka dengan penyakit serius dan membatasi hidup seperti kanker, HIV/AIDS, dan lain-lain.
Rachel House Indonesia sendiri berfokus pada asuhan paliatif untuk anak-anak. Melalui asuhan paliatif, pasien dan keluarga akan dibantu dan didampingi dari segi medis, emosional, psikososial, dan ekonomi.
Selain itu, hal yang diperjuangkan Rina dan Rachel House Indonesia adalah penggunaan morfin untuk meredakan nyeri berat. Sebelum mengenal asuhan paliatif, Rina melihat bagaimana dokter dan tenaga medis lainnya sering ragu meresepkan morfin untuk pasien dengan nyeri berat.
“Dulu tuh sedikit, bahkan hampir nggak ada yang mau pakai morfin. Setelah kita belajar asuhan paliatif, kita belajar dari pakar paliatif dari luar negeri, nah sekarang tuh udah banyak dokter yang familiar dan nyaman memberikan morfin yang nggak setakut dulu. Dulu kan takut banget depresi pernapasan lah, pasien bisa meninggal mendadak, lah. Ternyata nggak, gitu. Itu perubahan yang saya rasa,” jelas Rina.
Ada beberapa kejadian yang dialami Rina saat menjalani tugasnya. Ia sering menemui keluarga yang lebih menginginkan anaknya meninggal dengan cepat daripada hidup menderita. Dari situlah Rina biasanya akan memulai percakapan mengenai bagaimana harapan keluarga mengenai kondisi anak saat berpulang kelak. Pastinya, mereka menginginkan anak berpulang dalam keadaan tidak menderita dan dikelilingi orang-orang tersayang.
Dari beberapa kali diskusi dengan anak-anak yang butuh perawatan paliatif, Rina mengatakan bahwa anak-anak justru tidak takut dengan kematian. mereka lebih khawatir akan membuat keluarganya sedih karena kepergiannya.
“Mereka pernah bilang, ‘Aku nggak takut meninggal. Tapi kalau aku meninggal gimana nanti Papa jadi sedih nggak? Mama jadi sedih, nggak?’ menghadapi kematian bagi anak-anak adalah bukan hal yang menakutkan, ternyata. Tapi ada kesedihan dia meninggalkan orang-orang yang dia sayangi,” kenang Rina.
Bagi Rina, menjadi perawat paliatif adalah panggilan hidup. Ia meyakini bahwa tidak ada satu anak pun yang layak meninggal dalam kesakitan dan penderitaan. Maka, ia pun berpesan pada rekan-rekan seprofesinya untuk lebih mendalami emosi pasien serta keluarganya.
“Saya selalu bilang ke teman-teman, kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membantu mereka? Karena, mungkin untuk kesenangan yang lain mereka bisa dapat di luar sana. Tapi untuk seorang perawat yang berdiri di samping orang tua untuk memberikan mereka kekuatan saat mereka akan kehilangan anak, menjawab semua kebingungan dan kekhawatiran mereka, itu kalau bukan kita, siapa lagi?” kata Rina.
Penulis: Nada Celesta
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-6441587/rina-wahyuni-perawat-paliatif-teman-pasien-tanpa-harapan-sembuh/