Sebagian besar pasien remaja atau dewasa muda yang mengidap kanker stadium lanjut lebih memilih untuk meninggal di rumah, menurut hasil studi wawancara kualitatif yang dipublikasikan di JCO Oncology Practice. Sayangnya, keinginan para pasien ini sering tidak terwujud, dimana dua pertiga pasien kanker usia remaja atau dewasa muda meninggal di rumah sakit, yang menggarisbawahi adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi tentang preferensi kematian dalam populasi ini.
“Data kami menunjukkan preferensi untuk meninggal di rumah bagi sebagian besar pasien remaja atau dewasa muda dengan kanker stadium lanjut,” tulis Oreofe O. Odejide, MD, asisten profesor kedokteran dan onkologi medis di Dana-Farber Cancer Institute, dan rekan peneliti. “Sayangnya, preferensi ini menjadi aspirasi bagi banyak orang, karena mayoritas meninggal di rumah sakit. Untuk memastikan bahwa pengalaman akhir hidup mereka selaras dengan preferensi mereka, diperlukan layanan home care yang memadai untuk pengendalian gejala dan dukungan logistik/psikososial bagi keluarga dan pengasuh pasien: kami membutuhkan strategi inovatif yang dapat menutup kesenjangan antara lokasi kematian yang dipilih pasien dan lokasi kematian aktual untuk mencapai perawatan akhir kehidupan yang berkualitas tinggi bagi pasien kanker usia remaja/dewasa muda.”
Di Amerika Serikat, lebih dari 9000 pasien remaja-dewasa muda meninggal karena kanker setiap tahun, dan data yang ada menunjukkan bahwa perawatan akhir kehidupan mungkin kurang optimal pada populasi ini. Perawatan dengan intensitas tinggi, sering dirawat di rumah sakit, masuk ke unit perawatan intensif (ICU), dan kemoterapi pada bulan terakhir kehidupan, semuanya dapat berkontribusi pada pengalaman akhir hidup yang negatif. Ini lebih mungkin terjadi pada pasien remaja dan dewasa muda dibandingkan pada pasien yang lebih tua atau anak kecil. Selain itu, sebagian besar pasien remaja dan dewasa muda meninggal dalam perawatan akut. Temuan dari studi pada 2021 yang diterbitkan di Cancer memperkirakan bahwa 69% pasien-pasien tersebut meninggal saat dirawat di rumah sakit.
Peneliti berusaha untuk lebih memahami preferensi pasien — khususnya, lokasi kematian yang dipilih pasien. Oleh karena itu, mereka melakukan studi wawancara kuantitatif pada pasien remaja dan dewasa muda dengan penyakit stadium lanjut, serta mengumpulkan tanggapan dari pengasuh dan dokter keluarga mereka. Wawancara dilakukan antara 6 Desember 2018 sampai 5 Januari 2021. Peserta yang memenuhi syarat diidentifikasi dari daftar klinis, database administratif, dan rujukan dokter. Penelitian ini melibatkan total 80 orang: 23 orang pasien, 28 orang keluarga pasien, dan 29 orang dokter.
Wawancara mengungkapkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pilihan lokasi kematian para pasien usia remaja dan dewasa muda ini. Alasan utamanya adalah keinginan pasien untuk berada di sekitar keluarga dan teman, tetapi alasan lainnya mencakup kenyamanan, rasa normal, dan tidak ingin merasa terisolasi di rumah sakit.
Seorang peserta menyatakan: “Daripada berada dalam situasi di mana hari-hari terakhir saya dihabiskan di ranjang rumah sakit dan orang tua saya serta orang-orang yang saya cintai harus datang ke rumah sakit, saya lebih suka menghabiskan hari-hari terakhir saya di rumah.”
Namun, faktor eksternal dapat mempengaruhi keputusan para pasien dan membuat mereka lebih memilih meninggal di rumah sakit. Salah satu alasannya mungkin karena ada lebih banyak pertimbangan logistik yang diperlukan untuk kematian di rumah. Pengasuh mungkin lebih mengetahui pertimbangan logistik ini, yang mencakup kebutuhan akan nyeri dan manajemen gejala.
Salah satu pengasuh menggambarkan keadaan sekitar pasien yang akan mempengaruhi keputusan untuk dirawat di rumah sakit menjadi lebih dipertimbangkan. “Jika dia (pasien) mengalami rasa sakit yang luar biasa, kami akan mempertimbangkan apakah pasien akan diberikan morfin IV (intravena) terus menerus… atau kami akan membawanya kembali ke rumah sakit,” jawab pengasuh. “Dan meskipun dia tidak menginginkannya, keputusan menyakitkan itu akan menggantikan keputusan untuk merawatnya di rumah.”
Seorang dokter mendukung sentimen itu, dengan mencatat, “Kebanyakan pasien merasa akan menyenangkan saat berada di rumah, tetapi kemudian pertanyaannya adalah: berapa biayanya? Beban gejalanya tinggi—beberapa pasien yang saya temui bersedia dirawat di rumah dengan risiko tidak optimalnya pengendalian gejala.”
Selain itu, adanya keinginan pengasuh untuk melestarikan rumah sebagai tempat yang “tidak tersentuh” oleh kematian, terutama demi kepentingan saudara kandung pasien, dapat mempengaruhi pasien untuk memilih meninggal di rumah sakit. Salah satu pengasuh mengakui bahwa keluarganya tidak ingin “merusak” ruang rumah mereka dan tidak ingin adik pasien menyaksikan kematian kakaknya.
Meskipun sebagian besar pasien usia remaja dan dewasa muda menyatakan bahwa mereka lebih memilih untuk meninggal di rumah, mereka juga memikirkan preferensi anggota keluarga, dan akibatnya, mereka prihatin bahwa mereka akan memberikan trauma tambahan pada anggota keluarga mereka jika memilih untuk meninggal di rumah. Keinginan untuk merasakan kenyamanan akhir kehidupan untuk diri mereka sendiri, dan kebutuhan untuk tidak menjadi beban bagi keluarga mereka, menciptakan ketegangan yang diidentifikasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian mencatat bahwa banyak pasien remaja dan dewasa muda yang memilih untuk meninggal di rumah sakit secara khusus untuk mengurangi beban bagi anggota keluarga mereka.
Terakhir, kebutuhan akan perawatan paliatif bertentangan dengan keinginan pasien untuk meninggal di rumah. Meskipun perawatan rumah sakit dapat berguna dalam memfasilitasi kematian di rumah, namun ada batasannya, dan beberapa keluarga mungkin memilih agar orang yang mereka cintai mendapatkan perawatan rawat inap terlepas dari preferensi pasien. Misalnya, pengasuh yang berduka melaporkan bahwa orang yang mereka cintai meninggal di rumah perawatan (hospice) daripada di rumah karena ketidakmampuan untuk mengakses perawatan tingkat tinggi yang diperlukan untuk memfasilitasi kematian di rumah.
Pasien lain menyatakan, “Satu hal yang saya harapkan adalah bahwa layanan hospice di rumah dapat melakukan pelayanan selama 24 jam, bukan layanan keperawatan, tetapi [menyediakan] asisten untuk tinggal bersama pasien. Karena saya harus menempatkan dia di hospice care karena dia tidak bisa meninggal di rumah, karena saya tidak bisa merawatnya lagi. Itu sulit bagi saya.”
Meskipun layanan hospice di rumah merupakan strategi yang menarik untuk mencoba dan membuat kematian di rumah menjadi layak, kesenjangan masih tetap ada dalam jenis perawatan ini dan perlu diperhatikan lagi jika keluarga benar-benar dapat memanfaatkan layanan ini daripada hospice rawat inap. Demikian pula, layanan home care yang memadai untuk pengendalian gejala dan dukungan logistik/psikososial untuk pengasuh dan keluarga pasien sangat penting dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Mengingat stres yang melingkupi pengalaman akhir kehidupan, mencari solusi inovatif untuk meningkatkan tingkat kenyamanan bagi pasien ini diperlukan, para penulis menyimpulkan.
Penerjemah: Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz
Penulis: Lindsay Fischer
Sumber: https://www.